Mengenal lebih dalam prosesi "MAPPETTU ADA" dalam Suku Bugis-Makassar

 

A.   DEFINISI “MAPPETTU ADA

Mappettuada adalah salah satu prosesi adat perkawinan suku Bugis yang didahului dengan beberapa tahapan, yaitu: mammanu-manu dan madduta.

Masyarakat Bugis mengenal beberapa sinonim kata mammanu’manu, yaitu: mabbaja laleng, mattiro, dan mappese-pese.

Mammanu-manu biasanya dilakukan secara diam-diam oleh keluarga dan calon mempelai laki-laki.

Tujuannya  untuk mengenal lebih dekat gadis yang akan dipinang juga keluarga si gadis. Kenapa dilakukan diam-diam?

Konon katanya, agar tidak ada dusta di antara mereka. Keluarga gadis dan si gadis itu sendiri tidak bisa pura-pura baik, pura-pura kaya, dan pura-pura lainnya. 

Kan, mereka tidak tahu kalau sedang di-manu-manui. Wallahualam.

Setelah calon mempelai laki-laki dan keluarganya mengetahui keadaan keluarga si-gadis dan menerima keadaan si gadis dan keluarganya, maka dilaksanakanlah proses selanjutnya, yaitu  madduta atau massuro.

Massuro artinya meminang di mana keluarga dari pihak laki-laki datang ke rumah gadis untuk meminang. 

Hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan dalam proses massuro adalah besarnya uang belanja atau doi menre (bahasa Bugis) atau doe panaik (bahasa Makassar) dan mahar.

Seiring dengan perkembangan zaman, mammanu-manu sudah jarang dilakukan karena pada umumnya, kedua calon pengantin sudah saling mengenal. 

Bahkan keluarga masing-masing juga sudah saling mengenal, sekalipun tidak ada hubungan keluarga.

 

B. MENGENAI MAPPETTU ADA 

Rangkaian acara setelah madduta atau massuro adalah mappettuada. 

Mappettu = memutuskan dan Ada = kata, maka mappettuada dapat didefinisikan sebagai acara musyawarah untuk bermufakat yang berlangsung di rumah kediaman calon mempelai perempuan.

Pada acara mappettuada, kedua belah pihak, keluarga laki-laki dan keluarga perempuan memusyawarahkan beberapa hal, antara lain:

·   Jenis dan jumlah sompa atau sunrang, yaitu mahar atau mas kawin.

·   Penentuan waktu pelaksanaan aqad nikah.

·   Permintaan erang-erang atau leko’, yaitu seserahan untuk calon pengantin perempuan.

·   Kesepakatan dalam accatakeng. Accatakeng artinya biaya pencatatan atau pendaftaran nikah di KUA

·   Penentuan busana pengantin, tentang warna maupun modelnya (pakaian adat atau pakaian nasional).

·   Penentuan waktu dan teknik yang akan digunakan saat mapparola, yaitu kegiatan setelah aqad nikah berupa mengantar pengantin perempuan bersama pengantin laki-laki ke rumah pengantin laki-laki.

·   Dan lain-lain yang berhubungan dengan acara aqad nikah dan pesta pernikahan.

Tak kalah pentingnya pada saat acara mappettuada adalah penyerahan uang panaik yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan saat acara massuro atau maddatu. 

Selain itu, pihak laki-laki juga menyerahkan pattenre’ atau passio (bahasa Bugis = pengikat) berupa cincin.

Dahulu, acara mappettuada tidak dihadiri oleh orang tua kandung calon mempelai laki-laki dan calon pengantin laki-laki. Biasanya hanya diwakili oleh keluarga terdekat saja, seperti om, tante, atau saudara.

Calon pengantin perempuan juga tidak dimunculkan di depan tamu-tamu. Sehingga keluarga pihak laki-laki menjadi penasaran, dan menanti-nanti acara nikah untuk melihat wajah pengantin perempuan.

Seiring waktu, acara mappettuada berkembang dan mengalami perubahan yang cukup signifikan, karena beberapa orang  memodifikasinya menjadi semacam acara pertunangan modern.

Sehingga kedua calon pengantin dihadirkan di depan keluarga lalu mereka bertukar cincin sebagai tanda kalau mereka telah saling mengikat  janji atau bertunangan.

Adapun acara mappettuada untuk putra ketiga saya kemarin hanya mengambil sebagian dari kreativitas acara tersebut, karena putra saya tidak hadir dan saya yang mewakili dia, memasangkan cincin ke jari manis sang kekasih sebagai tanda pengikat pada  acara mappettuada.

Walaupun acara mappettuada sudah dimodifikasi sedemikian rupa, tetapi ciri khas yang menyertai mappettuada tidak boleh dihilangkan begitu saja, agar kekhasan dan nuansa kedaerahannya masih ada sebagai warisan dari leluhur kita.

Ada yang memilih mengantar uang panaik bersamaan waktunya aqad nikah, tergantung kesepakatan keluarga.  

Sebagian masyarakat memusyawarakan uang panaik, tanggal aqad, dan sebagainya pada saat lamaran berlangsung.

Demikian, semoga menambah wawasan sahabat tentang prosesi adat pernikahan warisan budaya masyarakat Sulawesi Selatan umumnya dan suku Bugis khususnya.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa fakta dibalik tradisi "UANG PANAI"

Keunikan tradisi pernikahan Gadis Suku Bugis-Makassar